Membentuk Karakter Bangsa Lewat PAUD

Membentuk Karakter Bangsa Lewat PAUD

Pemerintah, sedang gencar mensosialisasikan pentingnya pendidikan untuk anak usia dini (PAUD). Hal itu tentu sangat positif, karena memeratakan PAUD adalah bagian tak terpisahkan dari upaya meningkatkan kualitas generasi penerus kita dan membentuk karakter bangsa.

Mendidik anak usia dini ibarat meletakkan pondasi yang kokoh bagi kehidupan anak-anak secara pribadi dan kelangsungan generasi suatu bangsa secara kolektif. Hasilnya mungkin tidak bisa kita lihat dan rasakan dalam sekejap, namun setelah anak-anak tumbuh dewasa, pondasi yang dibentuk di masa kecil itu akan sangat terasa manfaatnya.


Sayangnya, PAUD yang populer di masyarakat lebih identik dengan Play Group dan Taman Kanak-Kanak (TK) dibandingkan pendidikan “rumahan”. Wajar pula kalau program pemerataan PAUD lebih diarahkan untuk memperbanyak jumlah Play Group dan TK atau bentuk-bentuk pendidikan klasikal lainnya daripada mengembangkan unit-unit pendidikan bagi orang tua. Padahal kita tahu bahwa pendidik terbaik untuk anak-anak balita atau anak prasekolah adalah orang tuanya.

Sekalipun ada institusi khusus yang menangani pengembangan kemampuan anak usia dini, seharusnya itu hanyalah pelengkap. Walau bagaimanapun waktu yang dihabiskan anak-anak di rumah jauh lebih banyak dibandingkan di sekolah. Berdasarkan fakta tersebut, tentu pengetahuan orang tua tentang kegiatan dan pembelajaran menarik di rumah justru sangat penting untuk dikembangkan.

Masalah yang biasanya dihadapi para ibu pemula adalah kurangnya informasi dan skill dalam memenuhi kebutuhan pendidikan anak balitanya. Hal itu bisa dimaklumi, karena sebagian besar orang tua tidak mempersiapkan dirinya untuk menjadi orang tua. Menjadi ayah atau ibu tampak begitu alamiah, sehingga nyaris semua orang tidak menganggap perlu untuk mencari tahu terlebih dahulu tentang ilmu-ilmu keayahbundaan sebelum mereka menikah.

Mungkin itu pula salah satu alasan mengapa orang tua memasukkan anak-anak balitanya ke playgroup atau TK. Orang tua merasa khawatir, mereka tidak mampu mengembangkan kemampuan anak-anak mereka secara maksimal.

Antusiasme untuk memperbanyak jumlah TK dan sejenisnya patut kita acungi jempol. Hal itu merupakan salah satu solusi agar semakin banyak anak-anak usia dini yang “terlayani” pendidikannya. Akan tetapi, bagi kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah, selain belum meratanya pengetahuan tentang pentingnya PAUD, mereka juga memiliki masalah lain untuk memasukkan anak-anak balitanya ke TK, yaitu faktor biaya.

Semurah-murahnya biaya pendidikan di tingkat Taman Kanak-Kanak saat ini tetap cukup berat jika satu keluarga memiliki beberapa anak usia sekolah. Mereka lebih memprioritaskan pembiayaan anak-anak yang sudah masuk SD atau jenjang di atasnya, daripada menyekolahkan anaknya yang masih balita.

 

Mengembangkan Skill Orang Tua

Ketika orang tua memutuskan untuk tidak memasukkan anak balitanya ke kelas-kelas prasekolah, timbul dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, banyak anak-anak balita yang tidak punya kegiatan terarah, dan ujung-ujungnya malah menjadikan televisi sebagai teman bermain. Dan kemungkinan kedua, ada orang tua yang kreatif menyediakan kegiatan pengganti sekolah yang tidak kalah bagusnya. Anak-anak tetap bisa belajar banyak hal meskipun hanya lewat kegiatan “rumahan” dan memanipulasi perabotan yang ada menjadi alat belajar.

Kemungkinan yang terakhir memang sangat kecil terjadi, karena patut kita akui, pengetahuan tentang cara mendidik anak usia dini belumlah begitu merata. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah menggalakan terbentuknya unit-unit belajar bagi orang tua.

Unit-unit belajar ini bukan hanya membantu anak-anak yang tidak bisa masuk playgroup atau TK, melainkan juga bisa meningkatkan kualitas pendidikan anak di keluarga-keluarga yang mampu menyekolahkan anaknya tapi masih lemah dalam pengetahuan keayahbundaan.

Program Missouri Parents As Teachers (PAT) di Amerika Serikat, juga telah menjadi pemicu yang penting dari konsep orang tua sebagai guru. Ini dimulai pada 1981 sebagai program percontohan dengan nama Parents as First Teachers (Orang Tua sebagai Guru Pertama). Program tersebut ditujukan untuk mendidik para orang tua, sehingga mereka mampu mendidik anak-anaknya sendiri.

PAT telah menjadi layanan yang dibiayai pemerintah. Sekitar 60.000 keluarga dengan anak usia 0 – 3 tahun mengikuti program tersebut. Mereka dibimbing sekitar 1.500 pendidik orang tua terlatih yang bekerja sebagai honorer. Pada setiap kunjungan, pendidik orang tua itu membawa berbagai permainan dan buku sesuai fase pertumbuhan anak, mendiskusikan apa harapan orang tua, dan memberikan tip-tip menstimulasi minat anak pada tahap tersebut.

Tak heran jika negara itu memiliki keunggulan dari sisi sumber daya manusia. Kepedulian pemerintah dan orang-orang berpendidikan terhadap pendidikan bagi anak usia dini “berbasis rumah dan keluarga” membuahkan hasil yang memuaskan.

Hari ini pemerintah juga nampaknya sudah memberikan ruang yang lebih lapang bagi terlaksanakan konsep tersebut dengan menjadikan pos yandu dan PKK sebagai pelaksana PAUD alternatif.

Akan tetapi, kelompok masyarakat yang sudah tercerahkan dengan berbagai informasi pendidikan anak usia dini, juga merupakan ujung tombak penyebaran ilmu keayahbundaan. Mungkin langkah pertama bisa dimulai dengan membuka kelompok-kelompok diskusi “parenting” yang terdiri atas beberapa orang tua, dan sesekali mengundang rekan-rekan yang kompeten di bidang ini.

Pendidikan memang cara paling tepat untuk mengubah suatu bangsa menjadi lebih baik, dan upaya ke arah itu sudah dibangun sejak lama lewat pendidikan yang diinstitusikan secara formal. Namun pada kenyataannya kita tidak bisa mengandalkan itu sebagai satu-satunya cara untuk membentuk anak-anak yang berkualitas dari berbagai segi. Kita tetap membutuhkan pendidikan rumah untuk mensinergikannya.

Walau bagaimanapun lingkungan yang positif terbentuk dari unit-unit masyarakat terkecil yang juga positif. Alih-alih ingin meningkatkan kualitas anak-anak kita, pendidikan yang tidak berimbang, antara sekolah dan rumah tak jarang malah menyebabkan kegagalan kolektif.